Guru Berkata


Kita Sudah dan Akan Selalu Tercerahkan




Disampaikan oleh Maha Guru Ching Hai,
San Francisco, California, Amerika Serikat,
27 November 1993
(Asal dalam bahasa Inggris)
Kaset Video #397



Keingintahuan merupakan Sifat Alami dari Pikiran

Sebagian besar dari kita memiliki banyak pertanyaan, dan tidak masalah berapa banyak jawaban yang kita dapatkan, kita masih memiliki banyak pertanyaan lagi. Saat kita muda, kita mengajukan banyak pertanyaan kepada orang tua kita. Sebagian tidak pernah terjawab, dan ketika kita dewasa, kita mengajukan banyak pertanyaan kepada para guru, teman-teman kita, dan berbagai orang bijak. Walau bagaimanapun, sebagian di antaranya juga tidak pernah terjawab. Saya juga memiliki banyak pertanyaan hingga saya mencapai apa yang disebut pencerahan. Pada awal pencerahan, saya bahkan masih memiliki pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang tidak penting. Tetapi persoalan ini baru saya pahami dalam jangka waktu yang lama.

Sebagian pertanyaan yang kita tanyakan terhadap diri sendiri dan mengikat diri kita, kadang dapat menjadi masalah bagi kita. Tetapi hal itu tidak apa-apa, karena cepat atau lambat semua pertanyaan ini akan lenyap. Ketika kita semakin maju dalam latihan rohani, kita menjadi semakin tenang dan jernih dalam hal cara pandang kita terhadap kehidupan. Maka pada saat orang-orang datang dan mengajukan banyak pertanyaan, saya selalu berusaha yang terbaik untuk memuaskan mereka. Tetapi untuk memahami jawabannya, bagi sebagian orang hal ini sangatlah sulit. Ini karena mereka menggunakan pemahaman mereka yang terbatas untuk menangkap sesuatu yang berada di luar pemahaman.

Dahulu, saya sendiri juga memiliki banyak pertanyaan sehingga saya sangat memahami mereka yang datang dan mengajukan pertanyaan. Nampaknya mereka tidak pernah dapat memperoleh jawaban yang cukup, tetapi itulah cara kerja pikiran. Kita selalu ingin tahu karena pikiran selalu ingin tahu; itulah sebabnya pikiran mengumpulkan banyak informasi setiap hari, apakah itu buruk atau baik. Pikiran tidak memiliki kekuatan untuk melihat perbedaan. Dan sebagian besar dari penderitaan, ketidakpuasan, prasangka, dan diskriminasi, serta berbagai pokok persoalan yang terjadi di dalam kehidupan; berasal dari sifat pikiran yang ingin tahu, yang memasukkan segala macam data, memegangnya, dan menjadikannya sebagai miliknya.

Kita Harus Mempertimbangkan Matang-Matang Sebelum Percaya

Maka kita seharusnya hati-hati dengan apa yang kita baca dan apa yang kita dengar; karena bila kita tidak selektif terhadap pemikiran, ilmu agama, atau filsafat orang lain yang kadang kala tidak seluruhnya benar; maka pemikiran itu nantinya akan mengendap dalam pikiran dan menjadi milik kita. Kita kemudian akan mengira bahwa kitalah yang berpikir demikian, yang menerima ini, itu dan yang lainnya. Kemudian, saat informasi lain datang kepada kita, informasi yang lebih tepat dan lebih membantu, kita menolak atau meragukannya karena kita telah merekam sebagian pemikiran atau teori yang nampaknya bertentangan dengan data yang baru.

Ini merupakan salah satu masalah yang kita hadapi di dalam kehidupan kita dan di dunia yang telah menciptakan atau melahirkan banyak hal seperti kebencian, diskriminasi dan konflik antar agama, antar bangsa, antar tetangga dan antar sesama. Maka, teori, ajaran atau cita-cita apa pun yang kita serap, pertama-tama harus kita uji apakah teori itu memiliki suatu dasar, kegunaan dalam kehidupan sehari-hari atau bagi kemajuan rohani kita. Jika tidak, kita akan memiliki banyak masalah, berjuang di antara cita-cita, kelompok, atau cara berpikir yang berbeda-beda.

Tidak ada sesuatu yang harus kita yakini tanpa pertimbangan atau bukti. Kita harus membuktikan segala hal, bahkan secara rohani, karena itu adalah ilmu pengetahuan. Itu memang ilmu pengetahuan yang tertinggi, tetapi itu masih tetap ilmu pengetahuan. Para Guru masa lampau, saat ini, dan masa mendatang merupakan para ilmuwan yang mengetahui banyak hal tentang alam semesta. Kita, orang biasa, mungkin menemui kesulitan untuk memahami atau mempercayainya. Tetapi suatu hari mereka juga turut mengajar dan menuntun kita ke dalam ilmu pengetahuan ini hingga suatu saat kita juga akan menjadi seorang guru atau pengajar, paling tidak bagi diri kita sendiri, karena menjadi guru bagi diri kita sendiri adalah tugas yang paling sulit. Dan untuk dapat melakukan hal itu, kita harus memiliki kekuatan yang paling kuat, yaitu kekuatan Tuhan atau kecerdasan alam semesta yang kita miliki.

Saat Ia hidup, sebagian orang menuduh Yesus berbohong dan menghujat Allah, karena Ia berkata bahwa Ia dan Tuhan adalah satu, bahwa Ia adalah Putra Allah dan bahwa Ia dan Bapa adalah satu. Tetapi kita telah lupa dan bahkan saat ini orang-orang masih berpikir dengan cara demikian. Kita telah lupa, bahwa kecuali Tuhan, tidak ada apa pun dan tidak seorang pun yang hidup di dalam bait Allah ini.

Jiwa Tidak Pernah Bereinkarnasi

“Saya” yang kita anggap sebagai diri kita, tidak pernah sungguh-sungguh ada karena saat kita pertama kali dilahirkan, kita tidak tahu banyak; kita bahkan tidak memiliki nama. Maka kita pun tidak memiliki “saya”, karena bila Anda kembali ke “saya” yang ada sejak kita masih bayi, apakah itu yang Anda sebut sebagai “saya” atau “dia”? Apakah itu? Dapatkah Anda mengenali seorang bayi dengan apa pun yang kita sebut “saya” atau “dia”?

Saat kita dewasa, kita memperoleh banyak pengetahuan dari para guru, sanak keluarga, atau teman-teman dan kemudian kita mulai memiliki sebuah identitas, menjadi seorang individu, mungkin seseorang yang digambarkan sebagai seorang yang pemarah, berwatak mudah tersinggung, seorang yang penuh kasih, atau seorang yang bijaksana. Tetapi dari manakah pribadi-pribadi yang bijaksana, penuh kasih, pemarah, penuh nafsu, atau serakah ini berasal? Kita tidak lahir bersama dengan mereka; mereka bukanlah “dia” yang lahir pada awalnya. Mereka hanyalah informasi yang kita kumpulkan, kemudian kita mengidentifikasi diri sendiri dengannya.

Maka teori reinkarnasi sesungguhnya tidak perlu diajarkan kepada orang-orang, karena kita tidak memiliki identitas yang bereinkarnasi. Mungkin yang bereinkarnasi adalah kecenderungan untuk melekat terhadap informasi yang kita peroleh ini, apakah itu buruk atau baik. Dan kemudian kecenderungan yang melekat tersebut berjalan dan menemukan satu demi satu instrumen untuk memuaskan keinginan yang belum kita peroleh dari apa yang disebut kelahiran sebelumnya.

Maka, setelah pengetahuan, kebijaksanaan, atau Jati Diri Tuhan yang tinggal di dalam tubuh ini keluar atau meninggalkan bait Allah ini, Ia akan hinggap ke bait Allah yang lain. Seperti saat kita pergi dari satu gereja ke gereja lain, kita adalah orang yang sama. Dan sesungguhnya, dalam alam semesta tidak ada satu perwujudan, tetapi yang ada adalah keseluruhan massa energi dalam medan yang penuh kasih, kadang kala terbagi begitu saja dalam bagian yang berbeda-beda.

Seperti arus listrik yang mengalir dalam bola lampu dan dalam kabel; ia mengalir melewati mikrofon, yang berbeda bentuknya. Ia masuk ke dalam pendingin, bentuk yang lain lagi; dan ke dalam kipas angin listrik, bentuk yang lain lagi. Tetapi arus yang ada di dalam memiliki bentuk yang sama persis. Sama halnya, kita tidak pernah terpisah dari Yang Maha Tinggi, Kekuatan Tertinggi. Kita selalu merupakan Maha Tinggi. Tetapi karena kecenderungan kita untuk mengidentifikasi diri kita dengan informasi yang kita peroleh atau kebiasaan yang kita kumpulkan dari lingkungan sekitar kita, kita memiliki sebuah pribadi, suatu perwujudan yang mengira dirinya terpisah dari keseluruhan.

Maka setelah kita tercerahkan, melalui usaha kita sendiri—saya ulangi lagi, melalui usaha kita sendiri atau melalui seorang teman rohani—kita memandang segala hal secara berbeda. Maka, walaupun kita masih memiliki kulit tersendiri, kita mengetahui bahwa kita bukanlah itu; dan pada saat itu, seluruh jawaban kita muncul secara alami, atau kita tidak lagi memiliki pertanyaan. Itu merupakan cara yang terbaik, karena tidak ada pertanyaan merupakan pertanyaan yang terbaik! Ketika kita tercerahkan, kita naik dan melampaui konsep baik atau buruk; melampaui sifat pikiran yang suka membeda-bedakan ini. Dan kemudian kita memahami: “Ah! Itu hanyalah kulit saya, baju saya. Saya di sini, inilah saya.” Tidaklah sama.

Semakin kita mengidentifikasi diri kita sendiri dengan pengetahuan jasmani dan barang milik kita, semakin sedikit kita mengetahui betapa agungnya diri kita. Sebagian orang yang memiliki banyak pengetahuan intelektual merasa lebih sulit bermeditasi dan lebih sulit untuk mencapai kebijaksanaan yang lebih tinggi daripada orang yang kurang berpendidikan, karena orang-orang ini memiliki lebih sedikit sampah yang harus dicuci, lebih sedikit yang harus diuraikan atau “dilepaskan”. Seperti halnya dengan rumah kita, saat ada terlalu banyak barang di dalam, membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membersihkannya supaya dapat memasukkan perabot yang baru. Tetapi, bila kita hanya memiliki sedikit barang, maka akan lebih cepat.

Bersahabatlah dengan Pikiran Anda

Maka sangatlah mudah untuk percaya bahwa kita dapat terbebaskan dalam satu masa kehidupan, karena sesungguhnya kita sudah terbebaskan. Kita sudah dibebaskan, dan kita akan selalu terbebaskan. Yang membuat kita merasa terikat dan tidak bebas adalah kecenderungan kita yang selalu berpegang kepada banyak sekali pengetahuan atau kebiasaan yang kita sebut “saya” sehingga kita lupa melihat kepada hal yang sesungguhnya. Saya kira banyak dari Anda memahami hal ini. Sesungguhnya, orang-orang yang tercerahkan atau orang-orang yang pandai, yang tingkatannya lebih tinggi, tidak memerlukan banyak ceramah atau penjelasan. Hanya satu kata atau satu kalimat sudah cukup, dan itu juga semacam pencerahan seketika.

Kita sudah selalu tercerahkan, dan kita selalu dalam keadaan tercerahkan. Hanya ada sedikit kesalahpahaman saja. Tidaklah mudah untuk menyadarkan seseorang akan pemikiran yang abstrak ini dengan menggunakan kata-kata yang sederhana, kata-kata biasa. Tetapi saat kita memahami hal ini, jauh di dalam batin kita dan menjadi bagian diri kita, kita merasa sangat santai dan gembira.

Tetapi itu hanya merupakan salah satu pencerahan intelektual. Dalam meditasi Zen, mereka kadang kala menyebutnya “pencerahan tiba-tiba” atau “pencerahan seketika”, karena satu kata dari Guru dapat membebaskan Anda sebagian, atau mungkin membebaskan Anda secara keseluruhan. Jadi, mengapa kita harus bermeditasi setelah kita tercerahkan atau setelah kita memahami apa yang ingin Guru katakan? Karena  kita memiliki terlalu banyak kebiasaan dan terlalu banyak pengetahuan dari masa lampau, sehingga satu masa tidaklah cukup untuk meyakinkan diri kita bahwa kita sudah tercerahkan. Kita mungkin akan melupakannya besok atau lusa.

Maka kita harus mengulang-ulang pengalaman pencerahan kita, lagi dan lagi sampai pikiran kita menerimanya. Tidaklah cukup bahwa jiwa, Jati Diri, mengenali dirinya sendiri, karena biar bagaimanapun sang Jati Diri selalu mengenali Dirinya; Diri Agung kita telah mengenal dirinya sendiri. Tetapi, karena kita berada di dunia ini, kita harus melakukan segala sesuatu dengan sebuah alat; yaitu pikiran atau komputer. Itulah alat yang harus kita gunakan untuk bekerja di dunia ini, untuk membawa berkah dan kekuatan kasih ke dalam lingkungan kita yang kacau, untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi anak-anak kita dan banyak generasi mendatang.

Pikiran merupakan alat yang sangat kuat; itulah yang menghalangi kita dari satu kehidupan ke kehidupan lain sehingga kita tidak dapat mengenali Tuhan dan tidak dapat mengenali kedudukan kita yang sesungguhnya di alam semesta. Maka kita tidak dapat mengabaikan pikiran; kita harus bersahabat dengannya. Kita harus membuatnya memahami mengapa kita melakukan ini dan mengapa kita melakukan itu sampai pikiran benar-benar menerima dan menjadi teman baik kita. Dengan demikian, kita dapat menjadi sangat bahagia dan santai. Jika tidak, bila pikiran tidak setuju, maka kita dapat melupakan meditasi. Itu tidak akan menghasilkan buah apa pun, karena Anda duduk bermeditasi dan pikiran terus bertanya-tanya: “Mengapa Anda duduk? Untuk apa? Saya ingin pergi ke bioskop atau mengunjungi pacar. Mengapa Anda duduk di sini seperti orang bodoh? Kopi lebih baik dan kue itu enak”—segala macam hal demikian.

Maka dari itu, selain menyalurkan 'pengetahuan hening tentang pencerahan sejati', guru rohani masih harus memberi ajaran lisan kepada orang untuk memuaskan sifat pikiran yang penuh pertanyaan. Pikiran selalu bertanya-tanya dan menimbang berbagai hal, karena informasi yang ia terima sebelumnya bertentangan dengan data yang ia terima sekarang, atau bahkan ia tidak dapat memahami informasi yang baru tersebut, lalu ia mengatakan bahwa itu tidaklah sama.

Itulah sebabnya banyak dari kita tidak dapat memahami bahwa agama yang satu tidak berbeda dari agama yang lain. Ini karena pikiran. Setelah kita tercerahkan, biar bagaimanapun, kita pergi melampaui pikiran. Maka kita memandang secara berbeda, dan benar-benar memahami bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan. Ini adalah hal yang sangat sederhana. Setelah pencerahan, kita menggelengkan kepala tidak setuju, dan tidak dapat mempercayai bahwa kita tidak dapat memahami sebelumnya. Hal ini semudah seperti saling memandang satu sama lainnya, tetapi kita tidak dapat melihat satu sama lain tanpa pencerahan. Itu adalah situasi yang sungguh sangat rumit yang diciptakan oleh raja Maya untuk menahan orang-orang dalam kegelapan. Setelah Anda tercerahkan, Anda akan sangat terkejut ketika menemukan bahwa suatu hal yang demikian sederhana, sesuatu yang demikian mudah dipahami, Anda tidak pernah dapat memahami sebelumnya.

Ajaran dari Guru atau teman rohani disebut ajaran lisan, merupakan bagian teoritis dari latihan rohani. Tetapi bagian yang lebih penting adalah bagian yang disalurkan dalam keheningan selama dua puluh empat jam setelah sang Guru menerima Anda sebagai seorang murid baru atau teman baru-Nya yang lebih muda.

Maka ajaran teoritis Guru mana pun, yang lalu, yang sekarang atau yang mendatang, hanya sebagian kecil dari keseluruhannya. Bila kita hanya mempelajari teorinya, kita hanya dapat memperoleh sedikit pencerahan, atau kita sedikitnya dapat menjadi seorang yang beretika. Sebagai contoh, kita akan memahami perlunya menjaga pantangan, menyebarkan kasih daripada menggunakan kekerasan, berbagi dengan sesama kita daripada mencuri dan seterusnya. Tetapi setelah seorang Guru meninggal, ajaran teoritis tersebut ditinggalkan dalam bentuk rekaman maupun dari para murid atau orang lain yang menghadiri khotbah-Nya. Dan generasi berikutnya hanya bersandar kepada rekaman informasi ini, mungkin untuk berlatih atau mendapatkan pedoman tentang apa yang harus dilakukan untuk menemukan Tuhan. Karena dahaga mereka akan pengetahuan, mereka meraih apa pun untuk memahami Tuhan, dan dari situ, berbagai agama mulai terbentuk.

Inti dari Semua Agama adalah Kebenaran yang Sama

Itulah sebabnya sebelum Kristus, kita tidak memiliki agama Kristen dan sebelum Buddha, kita tidak memiliki agama Buddha. Istilah Buddhis berasal dari Buddha atau Bodhi, yang dalam bahasa Sansekerta berarti tercerahkan atau pencerahan. Jadi, orang yang tercerahkan disebut sebagai seorang Buddha. Dan Kristus adalah bahasa Ibrani untuk tercerahkan; seseorang yang tercerahkan dinobatkan sebagai Kristus. Maka setelah Kristus kembali kepada Bapa, kita membentuk agama yang disebut sebagai agama Kristen, dan terjadi hal yang sama setelah sang Buddha pergi.

Satu istilah bagi agama Kristen di Jerman adalah Kristus, sehingga kata 'Kristen' lebih mudah dipahami dan dihubungkan dengannya. Dan istilah Buddha berasal dari Bodhi sehingga orang-orang yang mengikuti Buddha dan ajaran sang Buddha disebut Buddhis. Dan setelah Lao-tse, yang mengajarkan Tao, pergi, mereka membentuk agama Tao, kemudian muncul penganut Tao. Jadi, kita telah memiliki paling tidak tiga agama, dan kita dalam masalah! Tidak masalah jika kita mengikuti ajaran apa yang ingin kita pelajari atau percayai, apakah itu salah atau benar. Tetapi masalah akan muncul saat kita mulai memperdebatkan dan saling berkelahi karena perbedaan filosofis. Kita benar-benar mempermalukan diri kita dan para Guru kita yang telah meninggal, karena Mereka selalu mengajarkan perdamaian, keutuhan dan kasih.

Dengan demikian, sekarang tidak masalah apakah kita percaya bahwa agama Kristen merupakan agama terbesar atau agama Buddha merupakan sistem kepercayaan tertinggi di dunia; kita tidak perlu memperdebatkannya. Kita sebaliknya harus mencari tahu agama kita yang sebenarnya, inti sari agama yang sebenarnya, yang Buddha tinggalkan, yang Guru Tao tinggalkan, yang Kristus tinggalkan. Dan kemudian kita akan mengetahui bahwa satu-satunya cara yang terbaik dan tercepat adalah pencerahan.

Guru Hidup Menghubungkan Kita Kembali dengan Diri Kita yang Tercerahkan

Banyak orang dapat menjadi tercerahkan sampai suatu tingkatan tertentu melalui ajaran-ajaran seorang Guru, atau melalui usaha mereka sendiri, karena ketulusan dan kerinduan mereka. Tetapi banyak orang tidak bisa. Dan bahkan bila kita dengan sendirinya menjadi tercerahkan, ada banyak hal yang masih perlu dijelaskan oleh seorang teman yang hidup, seorang Guru yang hidup yang telah menguasai semua jalannya, karena jalan rohani tidaklah kasat mata, tetapi jalan itu masih seperti jalan lainnya. Kita dapat menguasainya, kita dapat menjalaninya, dan mencapainya. Ini hanyalah cara berbicara secara duniawi. Karena kebijaksanaan alam semesta demikian luas sehingga kita tidak pernah dapat dalam satu waktu atau bahkan satu masa kehidupan menggunakan seluruhnya. Jadi, bahkan bila kita mengatakan bahwa kita telah menyelesaikan perjalanan, kita masih belum menggunakan seluruh kebijaksanaan kita sekaligus kecuali saat kita membutuhkannya.

Banyak orang datang kepada saya dan bertanya apakah saya mengetahui masa depan dunia atau apakah saya mengetahui masa depan dan seterusnya. Saya katakan, “Saya tidak tahu!” Saya tidak memandang ke masa depan; Saya hanya memandang saat ini dan mengetahui apa yang harus saya lakukan saat ini. Itu cukup bagi saya. Kadang kala, bila perlu, saya dapat melihat sepintas ke masa depan ataupun ke masa lalu, bila Anda ingin mengetahuinya. Tetapi itu hanya bila benar-benar perlu dan bermanfaat bagi seseorang atau bagi dunia; lalu Tuhan memperbolehkan saya mengetahuinya dan itu cukup. Jika tidak, kita membebani diri kita sendiri dengan terlalu banyak pengetahuan akan apa yang sedang terjadi.

Maka, jangan memiliki khayalan tentang pencerahan, tetapi lihatlah itu seperti apa adanya, bahwa kita selalu memiliki sifat sejati kita. Dan sekarang, bila kita ingin mengetahuinya, ada sebuah jalan yang selalu berada di sana. Bila kita benar-benar tulus dalam meditasi, setiap jawaban akan muncul saat kita memerlukannya. Anda tidak perlu menulis surat kepada Guru, karena kita selalu terhubung, terlebih lagi setelah inisiasi. Kita akan terhubung selamanya hingga Anda menjadi seorang guru.

Kadang saya berbicara terlalu banyak; saya tidak tahu apakah Anda percaya separuh dari apa yang saya katakan, tetapi Kebenaran selalu terucapkan ke luar dan kadang-kadang saya tidak dapat menghentikannya. Ini karena Tuhan berbicara melalui mulut saya dan kemudian ketika saya lupa untuk menghentikan-Nya, Ia terus dan terus membicarakan segala rahasia. Dan orang-orang kadang berpikir bahwa saya membual, tetapi ini semua adalah benar. Bila Anda pergi ke seorang dokter, ia seharusnya memberitahu Anda bahwa ia mampu menyembuhkan penyakit Anda. Jika tidak, apa gunanya pergi ke dokter? Bila Anda mendatangi seorang teman untuk memperoleh pencerahan, ia seharusnya memberitahu Anda mengenai kemampuannya, bahwa ia sanggup membantu Anda mengenali Jati Diri Anda yang tercerahkan.

Cepat atau lambat, siapa pun dari kita dapat menjadi seorang pembawa Cahaya, karena kita sesungguhnya adalah Cahaya. Hanya saja kita terlalu sibuk dengan semua data ini—semua pekerjaan yang harus kita lakukan dan segala masalah keuangan yang harus kita hadapi—sehingga kita lupa betapa agungnya diri kita, kita lupa menggunakan kebijaksanaan agung kita untuk menangani berbagai masalah kecil ini. Kita hanya berusaha memperbaiki masalah itu sendiri; kita menjadi terpaku pada masalah dan terbenam di dalamnya atau tertelan olehnya sehingga masalah itu sulit dipecahkan. Tetapi, jika kita menengok kembali dan tahu di mana kita berdiri; atau daripada kita memusatkan seluruh perhatian kita pada masalah, sebaiknya kita melangkah mundur dan mengingat bahwa kita bukanlah masalah tersebut; dengan begitu kita dapat memandangnya dengan lebih jelas. Itulah sebabnya kita memerlukan meditasi. Kita harus kembali masuk ke dalam untuk mengingat siapa pemiliknya, siapa majikannya, dan apa yang harus kita lakukan.