Kediaman
Guru berada di lereng gunung, dan merupakan daerah yang sering turun
hujan. Jadi sering kali saya keluar saat cuaca cerah, sesampainya di
kediaman Guru, turun hujan dan harus berbasah-basahan bahkan payung pun
tidak membantu, dan saya harus menyiapkan satu set pakaian ganti.
Ketika kami para inisiat tahu bahwa akan ada topan, kami merasakan
dorongan kuat untuk bertemu Guru, untuk menghapus rasa cemas kami
tentang keadaan Beliau. Ketika Guru melihat kami semua basah
seperti irisan "ayam vegetarian dalam sop," Beliau merasa kasihan dan
berkata, "Ada topan besar di luar. Kalian tidak berpikir!"
Guru
kami yang penuh kasih sayang tidak pernah lupa untuk berbagi dengan
kami apa pun yang Beliau miliki. Terkadang, ketika kami pamit dan
tergesa-gesa pulang karena harus mengejar bis terakhir untuk pulang,
Guru akan memanggil kami dari balkon, dan turun hujan makanan yang
telah diberkati, yang diisi penuh oleh cinta. Dalam kegelapan, kami
berusaha untuk menangkap makanan itu, sementara hati kami dipenuhi
kehangatan kasih Guru. Ketika sampai di ujung jalan dari rumah Guru,
kami menoleh ke belakang dan kami masih bisa melihat siluet Guru yang
melambai kepada kami.
Karena
lokasi kediaman Beliau yang terpencil, sedikit orang yang dapat
mengikuti meditasi kelompok yang diadakan setiap hari. Saya sendiri
harus menghabiskan waktu empat jam perjalanan bolak balik, dan
terkadang hanya dapat bermeditasi setengah jam bersama Guru; tetapi
itulah saat yang paling berharga dalam hidup saya. Setelah meditasi,
Guru akan duduk di lantai bersama-sama dengan kami dan memberikan
kata-kata yang mencerahkan dan sangat menyenangkan.
Saat-saat yang
menyenangkan ini lewat dengat cepat, dan Guru harus meninggalkan
Formosa karena visa Beliau hampir habis. Enam bulan lamanya Beliau
tidak bersama-sama kami. Selama enam bulan itu, kami hanya bisa mencoba
yang terbaik untuk bermeditasi bersama dan saling menyemangati,
sementara berharap mendengar kabar dari Guru. Kami semua sangat
merindukan Guru, dan berharap kami dapat memiliki sayap agar dapat
terbang kepada-Nya. Hingga pada suatu hari, saya sedang membersihkan
tempat tinggal Guru. Saat membuka pintu, yang pertama-tama saya lihat
adalah jubah Guru di atas altar, dan sepertinya saya melihat Guru hadir
di hadapan saya. Tiba-tiba emosi saya meledak dan saya menangis. Saya
menangis dan jatuh. Saya terus menerus bertanya dalam hati, "Guru!
kapan Anda kembali?" Ketika Guru benar-benar pulang dari India, Beliau
bertanya, "Siapa yang menangis begitu keras sehingga saya
harus pulang padahal saya tidak ingin pulang?"
Ketika
Guru ada di luar negeri, kami sangat merindukan Beliau sehingga kami
mencari alamat Kuil Ji Siang di buku telepon, tempat retret Guru di
tahun-tahun awal. Lalu kami mengunjungi kuil tersebut, tempatnya sangat
sunyi. Ketika kami menyebutkan nama Guru kepada seorang praktisi
awam yang sudah berumur, dia bercerita bahwa orang-orang di sana juga
sangat merindukan Beliau. Dia juga bercerita tentang ketekunan dalam
berlatih dan perilaku Guru yang sangat rendah hati selama Beliau di
sana. Praktisi itu lalu menunjukkan kepada kami suatu tempat agak jauh
di belakang gedung utama. Ada sebuah rumah kecil terbuat dari batu bata
kasar. Bahkan bak cucian pun terbuat sangat terderhana dari beberapa
batu bata. Ini adalah ruang meditasi dimana Guru mengadakan retret
sendiri. Guru kami yang penuh kasih berjalan melalui jalan spiritual
yang sangat berat untuk membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi semua
mahluk hidup!
<< Hal. Sebelumnya
* Kotak yang Tepat