Bahkan
Matahari Mempunyai Masa-Masa Gelap
Kemudian, pada suatu hari, negara
tetangga menyerbu negaranya, dan karena dikalahkan, maka ia harus
melarikan diri dan bersembunyi. Ia tidak mempunyai makanan untuk
dimakan selama pelariannya, dan ia begitu lelah dan merasa panas.
Dengan musuh-musuh di dekatnya dan hidupnya yang terancam, ia mulai
berpikir bahwa adalah sangat mengerikan menjadi seorang raja,
benar-benar mengerikan! Adalah suatu kesalahan bahwa ia telah berharap
menjadi seorang raja. Ia kemudian memandang ke atas dan melihat bahwa
sang matahari sangat bebas dan sangat tinggi; tidak seorang pun sanggup
menyentuhnya.Matahari bersinar dan sangat bagus! Maka ia berkata, “Oh,
Tuhan! Menjadi Matahari; lebih baik menjadi Matahari. Saya ingin
menjadi Matahari. Saya tidak suka menjadi seorang raja. Saya
ingin menjadi Matahari.”
Dan demikianlah, “Bum!” ia berada di atas,
dan mendapatkan dirinya berada di atas bumi, memancarkan kasih dan
kehangatannya kepada semua yang ada di muka bumi. Ia sangat senang
menganugerahkan berkatnya bagi semua makhluk hidup di dunia. Dan ia
merasa sangat mulia, gembira karena ia pikir ia adalah yang tertinggi
di muka bumi. Ia memandang ke bawah ke semua makhluk hidup dan merasa
sangat mulia dan bahagia.
Maka ia menutup matanya dan bermeditasi
sebentar dan kemudian tiba-tiba ia berkata, “Mengapa menjadi begitu
gelap? Begitu gelap sehingga mata kebijaksanaannya terbuka dan ia
berkata “Oh!” Ada awan besar di hadapannya, berani menutupinya! Dan ia
kemudian mulai berjuang dan tidak bisa keluar darinya. Semuanya gelap
sehingga juga menutupi mata kebijaksanaannya. (Gelak tawa) Ia tidak
melihat apapun dan sangat marah, berkata, “Saya harus menjadi awan.
Saya harus menjadi awan! Awan lebih hebat dari Matahari. Matahari tidak
berguna.”
Tidak
Berbahagia Menjadi Awan dan Gunung
Jadi kemudian, “Bum!” Kalian tahu apa
lagi yang terjadi! (Gelak tawa) Orang yang tidak pernah puas itu
mendapatkan kepuasan sekali lagi. Ia menjadi awan. Untuk sementara, ia
menjadi bahagia. Ia menurunkan hujan bagi orang-orang, memusnahkan
berbagai macam benda, dan kemudian memberkati tanah dengan membuat
semua bunga-bunga tumbuh subur dengan air dari awannya. Ia membuat
setiap orang bahagia, dan ia juga bahagia. Untuk sesaat ia merasa puas.
Dan tiba-tiba, angin datang! Dirinya semakin berkurang sampai
hampir tidak ada. Ia menjadi lebih kurus dan kurus, lebih kecil dan
kecil, sampai seperti seutas benang, hanya berkeliaran, mencoba
menyelamatkan dirinya. Dan kemudian ia menjadi sangat marah. Tapi, ia
pikir bahwa ia baik-baik saja, bahwa ia mungkin bisa menjadi besar
lagi.
Akan tetapi, kemudian angin meniupnya
melewati puncak gunung, dan gunung menangkapnya, seperti seseorang
menarik baju kalian. Dan ia tertangkap di sana, tergantung di atas
gunung, dan ia menjadi sakit hati, berkata, “Segala sesuatu datang dan
pergi, tetapi gunung selalu berdiri di sana; tidak pernah hilang,
tidak pernah termusnahkan, tidak sesuatu pun! Gunung selalu kuat. Oh!
Saya berharap, saya adalah gunung! Saya harus menjadi gunung. Gunung
adalah yang terbaik.” Maka, “Bum!” Suara itu datang kembali! Dan
kalian tahu ia menjadi apa! ( J: “Gunung.” ) Sebuah gunung!
Maka ia kembali menjadi sangat senang. Ia telah menjadi gunung. Tidak
peduli hujan, angin, salju atau matahari – tidak sesuatupun yang bisa
mengganggu gunung. Ia duduk seperti ini (Guru meluruskan sikunya
ke arah luar menyerupai pamer kekuatan), seperti saya. (Gelak tawa) Ia
merasakan bahwa gunung sangat hebat, dan mengangkat hidungnya ke atas.
Ia merasa sangat hebat. Setiap hari ia melihat ke atas dan merasa bahwa
ia sangat agung. (Gelak tawa)
Dan suatu hari, ia merasa sepertinya
seseorang sedang menusuk kakinya dengan pisau atau paku atau sesuatu
semacam itu, dan saat ia memandang ke bawah ia berkata, “Oh!” Ada
seorang tukang batu sedang memecah batu dari kakinya di bawah sana.
Tentu saja, ia menjadi sangat marah dan berteriak, “Beraninya engkau
mencungkil kaki saya! Itu menyakitkan!” Tetapi tukang batu itu tidak
peduli. Ia menggunakan palunya yang besar dan pahat yang tajam
dan memecah batu, satu per satu, dan ia sangat menikmati pekerjaannya,
sambil bernyanyi dan bersiul. Maka, wow! Ia kemudian menjadi
lebih marah dan berkata, “W-a-a-h ha-ha, Saya harus menjadi tukang
batu!” (Gelak tawa)
Sesudah
Pencerahan, Kita Sungguh Memiliki Pikiran yang Biasa
Hal ini menyerupai kita. Kadang
kala orang berkata, “Pikiran yang biasa adalah pikiran Buddha,”
tetapi kita tidak mempercayainya. Kita tidak mengetahui apakah itu. Dan
kita sesungguhnya tidak tahu sampai memperoleh pencerahan. Kita
kemudian menjadi normal kembali. Kemudian kita tahu bahwa segala
sesuatu adalah baik dan menyadari bahwa kita mengetahui apakah pikiran
yang biasa itu. Sebelum itu, meskipun kita memilikinya, kita tidak
mengetahuinya.
Yang disebut cara normal orang pada umumnya
menjalani hidup mereka, bukanlah pikiran biasa. Pikiran biasa yang
sesungguhnya adalah yang damai, tenang, yang menerima segala sesuatu
yang datang padanya dan bereaksi terhadap segala sesuatu dengan
seperlunya saja. Tidak ada keinginan, tidak ada penolakan dan tidak ada
pemberontakan apa pun. Itu adalah pikiran biasa. Akan tetapi, cara
orang menjalani hidup mereka sehari-hari, bukanlah apa yang dimaksud
dengan pikiran biasa.
Maka berhati-hatilah agar kalian tidak salah
paham antara tingkatan pikiran yang tidak tercerahkan dengan yang
tercerahkan, yang tercerahkan dengan yang super-tercerahkan, dan
super-tercerahkan dengan tidak-tercerahkan. Sesudah kita menjadi sangat
tercerahkan, kita mulai berhenti berbicara. Pada mula`nya, ketika kita
belum begitu tercerahkan, kita berbicara banyak; kita mengetahui segala
sesuatu. Kita tahu apa artinya “Buddha”, Nirwana, samsara, karma,
transmigrasi – segala sesuatu. Kita tahu semua perkataan utama dari
semua agama. Kita mengetahui itu semuanya.
Kemudian, setelah kita cukup tercerahkan,
kita berbicara lebih banyak lagi tapi kata-kata kita lebih mengandung
inti sari. Perkataan kita lebih bermakna daripada sebelumnya karena
kita memiliki pengertian yang lebih dalam dari arti kata-kata yang
sering kita ucapkan sebelumnya tetapi tidak tahu arti yang
sesungguhnya. Jadi, ada dua tingkatan bicara. Tingkatan bicara yang
disebutkan terakhir adalah lebih bermakna dan jujur karena itu datang
dari realisasi diri kita sendiri. Lalu, setelah tingkatan bicara ini,
kita mulai menjadi diam. Kita tidak ingin berbicara lagi. Jadi, tentu
saja kalian heran mengapa saya bicara (Guru tertawa.) – karena kalian
ingin saya untuk berbicara.
Tidak berbicara bukanlah berarti berdiam diri
sepanjang hari. Karena, jika seseorang tidak berbicara, bukan berarti
ia sedang diam. Dan jika seseorang menghentikan segala kegiatannya,
bukan berarti ia sedang tenang. Jadi berbicara ataupun tidak berbicara
bukanlah hal luaran; itu berasal dari dalam. Pada saat itu, kalian
berbicara tetapi kalian tahu bahwa tidaklah perlu untuk berbicara.
Kalian berbicara karena diminta oleh orang lain atau hanya untuk
menjadi seperti orang normal umumnya atau untuk membuat orang lain
berbahagia. Atau kalian hanya berbicara karena berbicara ataupun tidak
berbicara adalah sesuatu yang sama bagi kalian. Itu bukanlah
pembicaraaan yang penuh antusias; itu bukanlah lagi pembicaraan yang
mengesankan lagi, seperti halnya kita ingin membuat seseorang beralih
kepada kepercayaan kita maupun segala sesuatu yang serupa itu. Itu
adalah sangat biasa dan sangat normal. Jadi, begitulah. Itu
adalah cerita si tukang batu. Sangat menakjubkan, bukan? Itu
persis seperti kita.
|