Kasih Dalam Tindakan

Laporan dari  Pakistan

Karena liputan CNN, Guru mengirim lebih banyak bantuan ke kawasan gempa bumi Kashmir

Kasih Melampaui Batas
bagi Para Korban Bencana Alam

Laporan disusun oleh Grup Berita Amerika Serikat, Singapura, dan Formosa
(Asal dalam bahasa Inggris dan Cina)

 

Setelah tim medis dan tim bantuan yang pertama memberikan perawatan medis gratis dan membagikan bantuan perbekalan di kawasan Pakistan yang terkena gempa dari tanggal 29 Januari sampai 2 Februari 2006 (silakan membaca Majalah Berita #163 untuk laporan selengkapnya), para anggota Asosiasi Internasional Maha Guru Ching Hai dari Formosa, Cina, Thailand, Jerman, Amerika Serikat, dan Singapura membentuk tim lain untuk meneruskan upaya medis dan bantuan.

Pada tanggal 4 Februari, tim medis mencapai Mansehra, kurang lebih tiga jam ke arah utara Islamabad, Ibu Kota Pakistan, dan mendirikan markas besar komunikasi di hotel setempat. Dua orang saudara dari grup yang sebelumnya tetap tinggal untuk mengkoordinasikan pelayanan medis yang berkelanjutan, sementara para inisiat dari Singapura membungkus pakaian hangat yang baru dibeli untuk para korban bencana alam dan seorang saudara dari Jerman kemudian ikut bergabung.* (* Sesuai permintaan Guru agar dibuat lebih terinci!)

Pada tanggal 5 Februari, para inisiat dipimpin oleh seorang pemandu perjalanan menuju sebuah desa kecil di balik gunung yang melintang dari Kashmir. Di sana mereka mendirikan pos pengobatan sementara di sebuah stasiun pemancar telekomunikasi. Lebih dari seratus orang berusaha untuk mendapatkan pengobatan, sebagian harus berjalan bersusah-payah lebih dari sejam agar sampai di tempat tersebut. Dengan suhu malam hari yang rendah dan sulitnya mendapatkan air bersih, kebanyakan pasien menderita flu dan gangguan pencernaan. Sekitar tengah hari, seorang saudara-inisiat memperhatikan sekelompok wanita berkerudung berjongkok dengan tenang di sebelah bangunan, menunggu untuk mendapat perawatan medis tetapi tidak bergabung dalam antrian. Dia memperhatikan bahwa mereka telah tiba sangat awal di pagi hari, tetapi para pasien laki-laki yang berkerumun di pintu masuk pos pengobatan telah membuat mereka menunggu selayaknya tradisi orang Islam yang mengharuskan pemisahan jenis kelamin. Karena itu, tim medis meminta kepala desa setempat untuk mengumumkan bahwa para perempuan, anak-anak, dan para lanjut usia akan memperoleh pelayanan lebih dahulu pada sore hari. Kebanyakan pasien mengalami gejala-gejala yang serupa, kecuali beberapa orang menderita tekanan darah tinggi dan diabetes. Sejak tim medis pertama datang ke daerah terpencil ini setelah gempa bumi, mereka menemukan bahwa penyakit ringan seperti flu atau masalah pencernaan telah dibiarkan tidak diobati untuk waktu yang lama, dan sebagian anak-anak yang mempunyai cairan dalam perutnya harus segera menperoleh perawatan darurat.

Pada tanggal 6 Februari, tim tersebut mencapai suatu perkemahan di lembah sungai dekat Gandhean di Provinsi Perbatasan Barat Laut Pakistan. Di tempat itu,  para korban, yang termasuk kelompok etnis minoritas, baru saja tiba minggu itu dari kawasan bencana di sebelah barat-laut dekat perbatasan Afganistan. Karena mereka berbicara dengan dialek yang berbeda, komunikasi harus melalui terjemahan dalam empat bahasa. Hal ini membuat konsultasi pengobatan menjadi menarik. Orang-orang itu adalah korban di antara para korban dan mereka tidak mempunyai uang sepeser pun. Penerjemah perempuan yang membantu para inisiat, yang juga melayani sebagai pemandu, mendatangi tenda-tenda untuk mengumumkan pelayanan pengobatan cuma-cuma kepada para perempuan. Dua dokter dalam tim medis mendapati bahwa tenda yang disiapkan oleh para korban tidak cukup sehingga tempat pengobatan dipindahkan ke sebuah tenda yang lebih besar yang kebetulan dekat dengan kawasan perempuan. Hal ini sangat memudahkan pasien perempuan. Meskipun ada halangan bahasa, pelayanan pengobatan tetap dilakukan dengan hati-hati. Sebanyak 116 pasien yang diperiksa diberikan obat dan selebaran “Hidup dengan Cara Berbeda” dengan harapan agar cepat sembuh. Foto-foto Guru berukuran kecil juga ditaruh di meja dan banyak korban berebut untuk mengambilnya.

Para anggota tim kerja memperhatikan bahwa ada kekurangan persediaan bantuan di kawasan bencana, dan melalui penerjemahnya, mereka mempelajari bahwa termos, kompor, karpet, lampu tenda, dan makanan adalah barang-barang yang paling dibutuhkan. Para korban biasanya mengumpulkan kayu untuk membuat api yang digunakan untuk memasak. Api yang tidak terkontrol sering kali berkobar di perkemahan dan melukai sebagian orang yang masih bertahan hidup. Menurut penerjemah, selain risiko tersambar api, musim hujan yang panjang akan menyebabkan kesulitan untuk mendapatkan kayu bakar yang kering, dan mereka akan kelaparan karena kekurangan makanan dan bahan bakar. Maka, setelah berunding beberapa lama, para inisiat memutuskan untuk memberikan pengobatan di kawasan lainnya sementara mereka juga melakukan penelitian tentang kebutuhan yang paling mendesak dari para korban. Kemudian, para saudari dan saudara mengatur pembelian termos air, kompor, karpet, lampu tenda, dan makanan untuk dibagikan di tiap kawasan.

Pada tanggal 7 Februari, tim tiba di Mangal Mantchy di Attershesh. Di tempat itu, ada sekitar lima puluh tenda yang telah didirikan dan sembilan puluh orang menerima pengobatan. Ada seorang anak laki-laki yang mengidap cairan dalam perutnya dan tidak dapat menelan makanannya. Dia telah menangis dan merepotkan selama beberapa bulan sehingga membuat ibunya sangat cemas. Menurut penerjemah, seorang ibu Pakistan biasanya memiliki beberapa anak dan sangat tertekan bila anak-anak yang masih kecil jatuh sakit bersamaan dan tidak sembuh setelah beberapa waktu. Maka, tim medis memberikannya obat tambahan untuk persediaan.

Pada tanggal 8 Februari, seorang saudara dan seorang saudari inisiat dari Amerika Serikat yang berprofesi sebagai dokter ikut bergabung dengan tim medis di Batang, Attershesh. Para anggota tim itu bersyukur karena Guru telah mengatur seorang dokter perempuan yang merupakan seorang saudari yang berkebangsaan Aulac, untuk melayani para pasien perempuan. Dengan begitu para pasien perempuan dapat meminta saran dokter dengan bebas.

Pada tanggal 9 Februari, tim medis tiba di Itchrean. Di tempat itu, gempa susulan sering terjadi sejak gempa bumi utama pada tanggal 8 Oktober 2005 dan gempa kuat lainnya yang menggoncang selama sepuluh detik. Gempa bumi Oktober telah merenggut para laki-laki dari sepuluh keluarga dan meninggalkan para istri beserta anak-anak mereka. Sekitar 160 pasien menerima perawatan pengobatan pada hari itu, dan obatnya termasuk foto Guru dalam bentuk stiker. Anak-anak dengan gembira menempelkannya pada tubuh mereka.

Ada enam puluh tenda pada perkemahan Tandain Bajnya. Tim medis tiba di sana tanggal 10 Februari, tiga bulan setelah tim medis terakhir pulang, sehingga orang-orang gembira saat menjumpai mereka. Seluruhnya ada 117 pasien, kebanyakan menderita penyakit kudis yang merupakan sejenis penyakit peradangan kulit. Para pasien diperlakukan menurut kebiasaan setempat, yang mengharuskan laki-laki dan perempuan masing-masing dilayani dengan dua meja terpisah oleh dokter laki-laki dan dokter perempuan. Prioritas diberikan kepada perempuan, dengan demikian memungkinkan banyak pasien perempuan menerima konsultasi yang teliti dan perawatan yang tepat. Hasil konsultasi pengobatan para korban menunjukkan bahwa gejala pada umumnya adalah radang telinga tengah, flu, radang pada hidung, saluran hidung dan tenggorokan, kudis, penipisan rambut, radang pencernaan dan saluran kemih, nyeri otot dan tulang, serta luka bagian luar yang disebabkan oleh gempa bumi.

Lalu pada tanggal 11 Februari, para inisiat mulai membagikan barang bantuan setelah menuju ke Itchrean dan Attershesh. Melalui penerjemah, mereka mengetahui bahwa penduduk setempat lebih suka selimut daripada kantong tidur sehingga para inisiat membelikan mereka selimut hangat, bersamaan dengan 220 jatah persediaan lain yang meliputi beras, tepung, dan lampu tenda. Hari berikutnya, tim tersebut meneruskan ke kawasan gunung Ughi. Di tempat ini, para peliput dari surat kabar Mansehra dan stasiun televisi mewawancarai mereka, dan liputan itu kemudian ditayangkan melalui surat kabar dan televisi setempat. Di sini, ada 115 paket dari beras, tepung, kompor minyak, dan karpet yang dibagikan.

Surat Penghargaan dari rumah sakit perkemahan – Organisasi Pengembangan Kunhar

Pada tanggal 13 Februari, para praktisi membagikan 130 jatah dari barang-barang bantuan di daerah pedalaman Mansehra, dan pada waktu tengah hari menyumbangkan perbekalan obat-obatan yang tersisa ke rumah sakit di Perkemahan Kawi Inchage. Lalu di sore hari, mereka menyalurkan 234 kantung beras dan terigu bersama dengan 117 wadah air dan kompor di Lober Kot dan Manguldura. Kemudian, saat mengetahui bahwa dua perkemahan ini kurang menerima perhatian, maka setiap korban diberikan sebuah kantung tambahan yang terdiri dari beras dan terigu.

Tim berangkat pada tanggal 14 Februari bertepatan dengan dimulainya musim hujan. Para inisiat senang karena kompor minyak yang ada dapat digunakan tepat pada waktunya. Pada hari itu, perempuan yang bertindak sebagai penerjemah mereka, meminta sebuah buku contoh dan menanyakan kapan Guru akan mengunjungi Pakistan, serta menyampaikan bahwa kelompok QuanYin tidak seperti kelompok lainnya karena mereka secara cepat menyediakan barang-barang bantuan dengan terlebih dahulu memperhatikan kebutuhan yang sebenarnya dari para korban, dan dengan sopan menolak undangan makan malam. Walaupun adakalanya mereka menerima makanan kecil dari komunitas setempat untuk menghormati kebudayaan dan kebiasaan setempat, para saudari dan saudara membalas dengan barang-barang yang bernilai lebih tinggi daripada makanan yang mereka terima. Penerjemah perempuan ini sangat berterima kasih karena para inisiat telah datang dari negara yang jauh untuk menolong rakyatnya dan dia mengatakan bahwa pendidikan adalah kebutuhan yang paling besar dari para korban gempa bumi; banyak dari mereka yang buta huruf, dan semakin banyak yang putus sekolah setelah bencana ini. Terlebih lagi, bekas kawasan bencana menjadi kekurangan ruangan kelas, juga perabotan, dan peralatan tulis-menulis. Dia juga berkata, “Saya telah banyak berpergian untuk mengumpulkan dana dan mendirikan empat sekolah di bekas kawasan bencana.” Seorang pekerja sukarela seperti penerjemah ini, yang juga adalah koordinator empat sekolah setempat, sangatlah jarang di Pakistan, dan berkat pertolongannya, upaya bantuan terbukti berhasil memenuhi kebutuhan para korban bencana yang paling mendesak serta memberikan bantuan kepada yang benar-benar menbutuhkan di bekas kawasan bencana yang terabaikan. Atas petunjuknya, papan tulis, meja, kursi, perlengkapan mengajar, pulpen, dan buku catatan dibeli untuk dua sekolahnya. Semoga upaya untuk memperbaiki lingkungan mengajar di bekas kawasan bencana ini akan mendorong para pelajar kembali ke sekolah.

Selama operasi bantuan gempa bumi Pakistan, para inisiat menyadari betapa hangat dan bersahabatnya orang-orang Pakistan. Sebagai contoh, pada tanggal 11 Februari malam, saat hujan tiba-tiba mulai turun selama upaya pembagian bantuan, para penduduk setempat memberikan penerangan dengan lampu tenda mereka dan membentangkan selimut mereka atau bahkan melepaskan serban mereka untuk menaungi para inisiat sementara mereka sendiri menjadi basah kuyup. Lalu, ada pengusaha pabrik yang tulus, yang bertanya ke mana-mana untuk membantu mendapatkan barang-barang perbekalan dan mendapatkan 741 termos air yang akan memecahkan masalah para korban yang terpaksa minum air yang dipanaskan oleh cahaya terik matahari musim panas. Tim medis diam-diam juga menerima bantuan dari seorang sopir yang dengan sukarela menghaluskan obat, menjelaskan secara singkat petunjuk pemakaian obat kepada para pasien, mengurus pesanan, dan membawa barang-barang. Dia sangat menghargai foto Guru, selalu memunggut setiap stiker foto yang jatuh di tanah. Dan setiap kali tim akan berangkat ke tujuan yang baru, dia akan memasang spanduk kuning Guru pada kendaraan angkutan, serta menurunkannya pada malam harinya. Dia juga menjaga foto Guru sepanjang perjalanan tersebut, meyakinkan rekan–rekan sepelatihan bahwa jiwanya sudah berpihak kepada Guru.

Salah satu penerjemah laki-laki pada perjalanan ini berumur enam puluh tahun. Sebelum konsultasi pengobatan, secara efisien dia melengkapi data awal dengan menanyai para pasien akan umur, gejala penyakit, dan sejarah awal penyakit mereka. Dan saat mengucapkan selamat jalan kepada tim bantuan, laki-laki itu memeluk erat-erat para anggota tiga kali dengan linangan air mata. Kasih dan kesabarannya kepada rekan-rekan sebangsanya dan sikap kerjanya yang sungguh-sungguh sangatlah mengagumkan.

Sebagian besar perbekalan medis yang dipakai tim medis pada perjalanan mereka ke Pakistan disediakan oleh para inisiat-dokter dengan harga grosir. Juga, beberapa praktisi yang merupakan penyalur perbekalan medis, menyediakan obat gratis dan obat yang dijual dengan harga pokok. Beberapa inisiat-dokter dari Formosa dan Hong Kong juga memberikan dukungan mereka dengan menyediakan obat gratis karena mereka secara pribadi tidak dapat mengunjungi kawasan bencana. Dengan demikian, proyek ini merupakan suatu usaha kasih yang diselenggarakan bersama-sama oleh banyak orang untuk menolong para korban bencana alam.

Melalui berkah Guru, misi pengobatan dan bantuan gempa-bumi Pakistan dapat diselesaikan dalam waktu yang sesingkat mungkin, dan para rekan sepelatihan merasa bahagia karena telah mendapat kesempatan untuk mengembangkan welas asih mereka dengan ikut serta dalam misi ini. Dari aktivitas ini, mereka menyadari betapa terberkahi dan melimpahnya hidup mereka, dan mereka juga mengalami keajaiban saat berbagi kasih Guru.

 

 

Beritahu teman
tentang artikel ini