[Laporan Staf] Adegan yang menggugah
hati dan penuh deraian air mata telah menjadi pemandangan sehari-hari
di bandara Medan, Indonesia, ketika para pengungsi dari provinsi Aceh
yang terkena bencana tsunami bertemu dengan sanak keluarga mereka.
Sejak tsunami yang terjadi pada tanggal 26
Desember 2004, banyak tempat di Aceh yang terputus dari dunia luar,
sehingga pasokan bantuan belum mencapai para korban. Bagi para
sukarelawan yang membagikan bantuan pertama ke daerah yang terkena
bencana, pemandangan mengerikan bagaikan hari kiamat itu akan tetap
tinggal dalam ingatan mereka.
Bapak Hardi Li, seorang warga keturunan Cina
kelahiran Medan yang merupakan seorang pekerja asuransi, adalah juga
seorang anggota dari kelompok spiritual yang dikenal sebagai Asosiasi
Internasional Maha Guru Ching Hai, cabang Indonesia. Bapak Li berkata
bahwa pada tanggal 27 Desember, sehari setelah bencana tsunami, yayasan
tersebut membagikan kurang lebih lima ton bahan bantuan; termasuk
makanan, pakaian, dan obat-obatan ke Lhokseumawe yang terletak antara
Medan dan Aceh. Bapak Li dan beberapa tenaga sukarelawan segera membawa
bahan-bahan tersebut ke daerah yang terkena bencana dengan menggunakan
truk.
"Tingkat keparahan bencana tersebut
melampaui imajinasi seseorang,” kata Bapak Li. Tiga puluh menit setelah
tim bantuan memulai perjalanan mereka ke Aceh, mereka melihat
mayat-mayat dan beberapa orang yang selamat di sana-sini. Dengan segera
mereka turun dari kendaraan, menyiapkan bahan-bahan bantuan untuk
didistribusikan, tetapi para korban bencana tersebut menolak pemberian
itu, malahan menyuruh mereka segera ke Banda Aceh, di mana situasinya
diyakini lebih parah.
Kejutan Saat Melihat Seseorang Hidup
Kelompok tersebut tiba di Aceh pukul 10
malam dan keadaan pada saat itu gelap gulita. Kemana pun mereka
menyorotkan lampu truk, mereka hanya melihat mayat-mayat yang terbaring
di jalan-jalan, terjuntai di atap rumah dan pohon-pohon. Pencarian
tidak berhasil menemukan tanda-tanda kehidupan. Mereka hanya dapat
melanjutkan pencariannya. Kira-kira pukul tiga dini hari, saat bulan
bersinar dengan terangnya, cahaya itu menyinari tumpukan-tumpukan mayat
tak bernyawa.
Setelah mengendarai selama setengah jam
berikutnya, mereka menemukan lima atau enam orang yang selamat.
Kehadiran dari tim bantuan - yang tak terduga dan yang menawarkan
bantuan - merupakan kejutan bagi orang-orang tersebut. Mereka kemudian
membawa para pekerja tersebut ke sebuah rumah kecil, dan di sana mereka
menemukan puluhan korban bencana lainnya. Banyak di antara mereka yang
terluka. Tim bantuan segera meminta bantuan pada tentara, meminta
bensin dan dengan segera membawa korban terluka ke bandara dengan
menggunakan truk tentara. Bagi Bapak Li Jian, pemandangan mengenaskan
yang ia saksikan selama perjalanan ke Aceh itu akan terpatri selamanya
di dalam benak.